Setelah memperoleh
kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948, Myanmar dipimpin oleh Perdana
Menteri U Nu. Pada awal kepemimpinannya Perdana Menteri U Nu disibukan dengan gerakan
komunis dan gerakan bersenjata yang mengakibatkan pemerintahan semakin tak
terkendali. Oleh sebab itu, U Nu mengalihkan kekuasaan kepada pihak militer
yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Dan Ne Win terpilih menjadi pemimpin
kabinet yang baru dan berjanji akan taat pada konstitusi dan demokrasi serta
akan melaksanakan pemilu yang bebas dan adil pada tahun 1960.
Pada bulan
Februari 1960 dilanksanakan pemilu yang dimenangkan oleh U Nu. Namun situasi politik
Myanmar masih belum stabil. Hal ini menjadi peluang Ne Win untuk melakukan
kudeta pada 2 Maret 1962 dengan bantuan para aparat militer dan sekutunya
dengan alasan pemerintah sipil tidak dapat mengendalikan keadaan negara dan
tidak dapat memajukan perekonomian. Sampai 30 tahun sesudah itu, Myanmar
menjadi suram akibat pemerintahan Ne Win yang otoriter. Rakyat tidak
diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri karena semua keputusan harus melalui
pemerintahan militer di Rangoon. Disinilah awal runtuhnya demokrasi Myanmar.
Pembahasan
Pengunduran
diri Jenderal Ne Win pada tanggal 23 Juli 1988 sebagai pemimpin yang diktator
dan terjadinya aksi protes di hampir seluruh wilayah Myanmar mengakibatkan
terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar. Hal tersebut membangkitkan optimisme
rakyat Myanmar untuk segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan
perubahan. Optimisme tersebut semakin terlihat jelas dari salah satu keputusan
kongres yang mengusulkan mengenai suatu referendum untuk mengakhiri
totaliterisme di Myanmar.
Hal
tersebut memicu demonstrasi yang menghendaki pemulihan demokrasi di Myanmar. Demonstrasi
paling besar terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988 dimana hal itu memberikan
optimisme kepada orang dalam negeri maupun luar negeri bahwa rakyat Myanmar
akan berhasil.
Optimisme
yang terjadi berpengaruh pada perkembangan politik di Myanmar, yaitu :
- Mundurnya
Sein Lwin (pengganti Ne Win) sebagai kepala negara pada tanggal 12 Agustus
1988 yang baru 17 hari berkuasa, setelah ada pembantaian brutal dari
aparat militer terhadap para demonstran. Penggantinya adalah Maung-Maung,
seorang sejarawan dan kawan akrab Jenderal Ne Win. Pergantian ini tidak
meredakan keadaan, sebab semua orang tahu bahwa Maung-Maung adalah “boneka
Jenderal Ne Win”.
- Proses
demokratisasi mulai berkembang. Ini terlihat jelas dalam usaha-usaha
rekonsiliasi dalam masyarakat.
- Negara-negara
Barat dan juga Jepang memboikot secara ekonomi terhadap Myanmar jika
penindasan politik terus berlangsung. Tekanan internasional dan perlawanan
dalam negeri adalah kombinasi politik yang ideal.
Pada tanggal
18 September 1988, Jenderal Saw Maung melakukan kudeta militer terhadap
Maung-Maung sekaligus melakukan penindasan terhadap para demonstran. Penguasa
militer baru pimpinan Jenderal Saw Maung dengan Kepala Dinas Intelejennya,
Mayor Jenderal Khin Nyunt berjanji melaksanakan pemilu tanggal 27 Mei 1990.
Pada bulan
Mei 1989, rezim Saw Maung mengubah nama Republik Burma menjadi Republik Myanmar
dan mengganti nama ibu kota Rangoon menjadi Yangoon. Perubahan ini bertujuan
untuk memberi kesan bahwa Myanmar bukan hanya milik suku Burma, namun juga suku-suku
lain yang ada di Myanmar. Nama Burma dianggap belum sesuai karena hanya
mewakili satu kelompok etnis tertentu, sedangkan di sana masih terdapat 134
suku lainnya.
Pemilu yang
direncanakan ditujukan untuk mempromosikan Myanmar ke dunia Internasional
dengan harapan memperoleh investasi. Rakyat menganggap rencana itu secara
sungguh-sungguh, sehingga lahirlah 93 partai politik yang siap untuk mengikuti
pemilu.
Hasil pemilu
menunjukkan bahwa Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang dipimpin Aung San
Suu Kyi, putri pelopor kemerdekaan U Aung San meraih 392 kursi dari 485 kursi
yang ada. Namun hasil pemilu tersebut ditolak oleh rezim militer yang berkuasa
dan tidak mau menyerahkan kekuasaan.
Sikap keras
militer membawa Myanmar dalam perpecahan, yakni dengan terbentuknya National Coalition Government of The Union
of Burma (NCGUB), suatu koalisi antara tokoh suku Burma, Karen, dan Kachin
yang berkedudukan di Manerplaw, kota di dekat perbatasan dengan Muangthai.
NCGUB dipimpin oleh suatu triumvirat yang terdiri dari Sein Win (Ketua),
Jenderal Bo Mya (tokoh suku Karen), dan Brang Seng (tokoh suku Kachin).
Pertentangan
antara rakyat yang menginginkan demokrasi dengan penguasa militer Myanmar
semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya serangan besar-besaran baik
terhadap suku Karen maupun Rohingnya.
Pada tanggal
23 April 1992, Jenderal Saw Maung digulingkan oleh Jenderal Than Shwe, dan
segera menyerukan kepada kelompok-kelompok etnis yang terlibat perang untuk
meletakkan senjata dan bergabung dalam rezim tersebut.
Myanmar kembali
menggelar pemilihan umum pada hari Minggu, 1 April 2012. Ini merupakan pemilu
ketiga bagi negara yang dikuasai oleh militer itu dalam setengah abad. Oleh
sebab itu, pemilu ini dinilai sebagai hal penting terhadap proses demokratisasi
di Myanmar, terutama bagi Aung San Suu Kyi yang berusaha meyakinkan dunia Barat
untuk mengakhiri sanksi terhadap Myanmar.
Kesimpulan
Setelah memperoleh
kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948, Myanmar dipimpin oleh Perdana
Menteri U Nu yang pada awal kepemimpinannya disibukan dengan gerakan
komunis dan gerakan bersenjata. Ketidakmampuan Perdana Menteri U Nu dalam mengatasi
kekacauan di negerinya memberikan peluang kepada Ne Win untuk melancarkan
kudeta. Keberhasilan kudeta yang dilakukakan oleh Ne Win ini dapat dikatakan
sebagai awal runtuhnya demokrasi di Myanmar. Padahal mayoritas rakyat Myanmar
menghendaki adanya suatu pemerintahan demokrasi.
Perjuangan
rakyat Myanmar untuk mewujudkan demokrasi bermula saat pengunduran diri
Jenderal Ne Win pada tanggal 23 Juli 1988 sebagai pemimpin yang diktator. Hal
ini memunculkan optimisme yang terlihat jelas dari salah satu keputusan kongres
yang mengusulkan mengenai suatu referendum untuk mengakhiri totaliterisme di
Myanmar. Naamun, perjuangan Myanmar untuk menegakkan demokrasi mengalami
berbagai rintangan dari penguasa militer yang menghendaki Myanmar berada di
bawah kekuasaaan militer.
Referensi
Sudharmono. 2012. Sejarah Asia Tenggara Modern Dari Penjajahan ke Kemerdekaan.
Yogyakarta : Ombak.
Wiharyanto, A Kardiyat.
2012. Sejarah Asia Tenggara Dari Awal
Tumbuhnya
Nasionalisme Sampai Terbangunnya Kerja Sama ASEAN. Yogyakarta :
Universitas
Sanata Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar