Kamis, 14 Januari 2016

PERJUANGAN MYANMAR MENEGAKKAN DEMOKRASI

Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948, Myanmar dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu. Pada awal kepemimpinannya Perdana Menteri U Nu disibukan dengan gerakan komunis dan gerakan bersenjata yang mengakibatkan pemerintahan semakin  tak terkendali. Oleh sebab itu, U Nu mengalihkan kekuasaan kepada pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Dan Ne Win terpilih menjadi pemimpin kabinet yang baru dan berjanji akan taat pada konstitusi dan demokrasi serta akan melaksanakan pemilu yang bebas dan adil pada tahun 1960.
Pada bulan Februari 1960 dilanksanakan pemilu yang dimenangkan oleh U Nu. Namun situasi politik Myanmar masih belum stabil. Hal ini menjadi peluang Ne Win untuk melakukan kudeta pada 2 Maret 1962 dengan bantuan para aparat militer dan sekutunya dengan alasan pemerintah sipil tidak dapat mengendalikan keadaan negara dan tidak dapat memajukan perekonomian. Sampai 30 tahun sesudah itu, Myanmar menjadi suram akibat pemerintahan Ne Win yang otoriter. Rakyat tidak diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri karena semua keputusan harus melalui pemerintahan militer di Rangoon. Disinilah awal runtuhnya demokrasi Myanmar.

Pembahasan
Pengunduran diri Jenderal Ne Win pada tanggal 23 Juli 1988 sebagai pemimpin yang diktator dan terjadinya aksi protes di hampir seluruh wilayah Myanmar mengakibatkan terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar. Hal tersebut membangkitkan optimisme rakyat Myanmar untuk segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan. Optimisme tersebut semakin terlihat jelas dari salah satu keputusan kongres yang mengusulkan mengenai suatu referendum untuk mengakhiri totaliterisme di Myanmar.
            Hal tersebut memicu demonstrasi yang menghendaki pemulihan demokrasi di Myanmar. Demonstrasi paling besar terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988 dimana hal itu memberikan optimisme kepada orang dalam negeri maupun luar negeri bahwa rakyat Myanmar akan berhasil.
            Optimisme yang terjadi berpengaruh pada perkembangan politik di Myanmar, yaitu :
  1. Mundurnya Sein Lwin (pengganti Ne Win) sebagai kepala negara pada tanggal 12 Agustus 1988 yang baru 17 hari berkuasa, setelah ada pembantaian brutal dari aparat militer terhadap para demonstran. Penggantinya adalah Maung-Maung, seorang sejarawan dan kawan akrab Jenderal Ne Win. Pergantian ini tidak meredakan keadaan, sebab semua orang tahu bahwa Maung-Maung adalah “boneka Jenderal Ne Win”.
  2. Proses demokratisasi mulai berkembang. Ini terlihat jelas dalam usaha-usaha rekonsiliasi dalam masyarakat.
  3. Negara-negara Barat dan juga Jepang memboikot secara ekonomi terhadap Myanmar jika penindasan politik terus berlangsung. Tekanan internasional dan perlawanan dalam negeri adalah kombinasi politik yang ideal.
Pada tanggal 18 September 1988, Jenderal Saw Maung melakukan kudeta militer terhadap Maung-Maung sekaligus melakukan penindasan terhadap para demonstran. Penguasa militer baru pimpinan Jenderal Saw Maung dengan Kepala Dinas Intelejennya, Mayor Jenderal Khin Nyunt berjanji melaksanakan pemilu tanggal 27 Mei 1990.
Pada bulan Mei 1989, rezim Saw Maung mengubah nama Republik Burma menjadi Republik Myanmar dan mengganti nama ibu kota Rangoon menjadi Yangoon. Perubahan ini bertujuan untuk memberi kesan bahwa Myanmar bukan hanya milik suku Burma, namun juga suku-suku lain yang ada di Myanmar. Nama Burma dianggap belum sesuai karena hanya mewakili satu kelompok etnis tertentu, sedangkan di sana masih terdapat 134 suku lainnya.
Pemilu yang direncanakan ditujukan untuk mempromosikan Myanmar ke dunia Internasional dengan harapan memperoleh investasi. Rakyat menganggap rencana itu secara sungguh-sungguh, sehingga lahirlah 93 partai politik yang siap untuk mengikuti pemilu.
Hasil pemilu menunjukkan bahwa Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang dipimpin Aung San Suu Kyi, putri pelopor kemerdekaan U Aung San meraih 392 kursi dari 485 kursi yang ada. Namun hasil pemilu tersebut ditolak oleh rezim militer yang berkuasa dan tidak mau menyerahkan kekuasaan.
Sikap keras militer membawa Myanmar dalam perpecahan, yakni dengan terbentuknya National Coalition Government of The Union of Burma (NCGUB), suatu koalisi antara tokoh suku Burma, Karen, dan Kachin yang berkedudukan di Manerplaw, kota di dekat perbatasan dengan Muangthai. NCGUB dipimpin oleh suatu triumvirat yang terdiri dari Sein Win (Ketua), Jenderal Bo Mya (tokoh suku Karen), dan Brang Seng (tokoh suku Kachin).
Pertentangan antara rakyat yang menginginkan demokrasi dengan penguasa militer Myanmar semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya serangan besar-besaran baik terhadap suku Karen maupun Rohingnya.
Pada tanggal 23 April 1992, Jenderal Saw Maung digulingkan oleh Jenderal Than Shwe, dan segera menyerukan kepada kelompok-kelompok etnis yang terlibat perang untuk meletakkan senjata dan bergabung dalam rezim tersebut.
Myanmar kembali menggelar pemilihan umum pada hari Minggu, 1 April 2012. Ini merupakan pemilu ketiga bagi negara yang dikuasai oleh militer itu dalam setengah abad. Oleh sebab itu, pemilu ini dinilai sebagai hal penting terhadap proses demokratisasi di Myanmar, terutama bagi Aung San Suu Kyi yang berusaha meyakinkan dunia Barat untuk mengakhiri sanksi terhadap Myanmar.

Kesimpulan
Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948, Myanmar dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu yang pada awal kepemimpinannya disibukan dengan gerakan komunis dan gerakan bersenjata. Ketidakmampuan Perdana Menteri U Nu dalam mengatasi kekacauan di negerinya memberikan peluang kepada Ne Win untuk melancarkan kudeta. Keberhasilan kudeta yang dilakukakan oleh Ne Win ini dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya demokrasi di Myanmar. Padahal mayoritas rakyat Myanmar menghendaki adanya suatu pemerintahan demokrasi.
Perjuangan rakyat Myanmar untuk mewujudkan demokrasi bermula saat pengunduran diri Jenderal Ne Win pada tanggal 23 Juli 1988 sebagai pemimpin yang diktator. Hal ini memunculkan optimisme yang terlihat jelas dari salah satu keputusan kongres yang mengusulkan mengenai suatu referendum untuk mengakhiri totaliterisme di Myanmar. Naamun, perjuangan Myanmar untuk menegakkan demokrasi mengalami berbagai rintangan dari penguasa militer yang menghendaki Myanmar berada di bawah kekuasaaan militer.

Referensi
Sudharmono. 2012. Sejarah Asia Tenggara Modern Dari Penjajahan ke Kemerdekaan.
Yogyakarta : Ombak.
Wiharyanto, A Kardiyat. 2012. Sejarah Asia Tenggara Dari Awal Tumbuhnya
Nasionalisme Sampai Terbangunnya Kerja Sama ASEAN. Yogyakarta :
Universitas Sanata Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar